Jumat, 12 Mei 2017

Politik Uang di Masa Tenang



Politik Uang di Masa Tenang

Hafiz Elfiansya Parawu
Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Unismuh Makassar

Masa tenang identik dengan politik uang
Lewat politik uang terpilihlah pemimpin daerah yang integritasnya kurang Akhirnya, korupsi semakin meradang dan sulit dihadang
Lalu, bagaimana masa depan daerah dapat lebih gemilang?   

Peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, memuat klausul yang menjelaskan mengenai masa tenang. Dimana pada Pasal 49 Ayat (2) peraturan tersebut menjelaskan bahwa masa tenang kampanye berlangsung selama 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Kemudin, pada Ayat (3) disebutkan pula, pada masa tenang tersebut, pasangan calon dilarang melakukan kampanye dalam bentuk apapun juga.
Mencermati isi kebijakan ini, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang terkandung di dalamnya, yaitu bermaksud untuk menciptakan suasana tenang (iklim kondusif) menjelang pemungutan suara, memberikan kesempatan bagi para pemilih untuk memertimbangkan para calon berdasarkan pengetahuan masing-masing terhadap mereka selama masa kampanye, dan guna membersihkan semua alat peraga kampanye yang tersebar di ruang publik.
Maka, ditetapkanlah tanggal 12-14 Februari 2017 sebagai masa tenang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 101 daerah (7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota) di Indonesia.
Saatnya Meningkatkan Kewaspadaan
Hasil kajian Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan lembaga Founding Fathers House yang dipaparkan di Gedug Bawaslu, Jakarta, pekan lalu melalui survei di 34 provinsi dengan melibatkan 1.200 responden, sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, hasil kajian tersebut mengungkapkan bahwa di tahun 2016 (saat pelaksanaan survei) sebanyak 61,8 persen responden mengatakan bersedia menerima pemberian uang peserta pilkada.
Dari hasil kajian Bawaslu dan lembaga Founding Fathers House ini dapat ditarik 3 (tiga) simpulan. Pertama, kecurangan pilkada dalam bentuk politik uang (money politic) masih saja marak terjadi alias masih saja menjadi “jurus ampuh” yang dijalankan oleh sebagian besar peserta pilkada untuk menarik hati para pemilihnya.
Kedua, kesadaran dari para pemilih untuk berani menolak segala bentuk politik uang dari tahun ke tahun tidak kunjung mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik secara signifikan. Dimana pada tahun 2010 menunjukkan angka 64,5 persen, 2014 sebanyak 66 persen, dan di 2015 ada sekitar 63 persen masyarakat kita yang mau menerima dana maupun barang pemberian dari para kontestan pilkada.
Dan yang terakhir, bukan hanya tingkat kesadaran masyarakat kita yang masih rendah, namun tingkat kewaspadaannya juga masih lemah. Lemahnya tingkat kewaspadaan masyarakat inilah yang digunakan oleh sebagian besar para paslon (pasangan calon) pemimpin daerah untuk melancarkan serangan money politic-nya.
Konklusi besarnya adalah, masyarakat kita “masih jauh panggang dari api”. Sebagian besar masyarakat kita masih bersifat permisif terhadap segala jenis politik uang. Masyarakat kita masih bersikap kompromistis terhadap praktik-praktik tercela tersebut. Masyarakat kita belum menjadi pemilih-pemilih yang cerdas.
Tentu ini masalah besar dan serius yang harus secepatnya diatasi dan harus mendapat perhatian lebih dari semua pihak, mengingat hari pemilihan sudah di depan mata. Politik uang yang lazim dilancarkan di masa tenang, tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai suatu kejahatan, namun sudah menjadi bentuk perampasan harga diri masyarakat. Pilkada yang diwarnai politik uang pastinya akan berkorelasi dengan kualitas pemimpin yang terpilih. Ia tidak lagi dipilih karena integritas dan kapabilitasnya yang mumpuni, tetapi karena lembaran rupiah yang dibagikannya.
Kini, kita tidak bisa lagi sekadar mengandalkan kebijakan yang sudah ada. Benar kita punya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dimana pada Pasal 73 Ayat (2) ada sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai paslon bila terbukti melakukan politik uang apapun jenisnya dan pada Ayat (3) bagi tim kampanyenya akan dikenai sanksi pidana. Dan, pada Pasal 187A Ayat (1) juga menegaskan bahwa pihak yang melakukan politik uang akan dipidana penjara 36-72 bulan dan denda Rp. 200 juta-1 miliar. Namun, semua itu belumlah cukup.
Menyandarkan permasalahan ini sepenuhnya pada pihak Bawaslu juga tidaklah bijak, sekalipun mereka sudah memiliki beragam sistem dan terobosan untuk mengatasi politik uang dan didukung oleh begitu banyak pengawas pemilu bermodalkan data indeks kerawanan tempat pemungutan suara (TPS) dan pengawas TPS, tidaklah menjadi jaminan politik uang tidak terjadi. Apatah lagi mengingat luasnya wilayah pemilihan.
Yang kini harus dibangun adalah bagaimana agar masyarakat dapat memiliki kesadaran penuh untuk menolak segala jenis praktik politik uang dan juga memiliki semangat, kepedulian, dan keberanian untuk berpartisipasi aktif dalam melaporkan segala jenis politik uang yang terjadi selama berlangsungnya proses pilkada. Akses atau saluran masyarakat untuk melaporkan segala bentuk praktik politik uang tersebut kepada pihak yang berkompeten tentunya harus dibuka dengan seluas, semudah, dan seaman mungkin.
Penting juga kiranya dipertimbangkan untuk membuat suatu kebijakan yang memberikan sanksi tegas kepada para penerima politik uang. Dengan pertimbangan bahwa praktik politik uang disamakan dengan aksi suap, dimana baik pemberi maupun penerima dapat dikenakan hukuman. Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat pemilih akan berpikir ribuan kali sebelum menerima segala bentuk politik uang.
           Kritik dan saran: elfiansyahafiz77@gmail.com

Restrukturisasi BUMN Mendesak



Restrukturisasi BUMN Mendesak!
Hafiz Elfiansya Parawu
Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Unismuh Makassar
BUMN telah berubah menjadi “ladang korupsi”. Para oknum pejabatnya sibuk memperkaya diri sendiri hingga negara pun semakin merugi. Restrukturisasi harus terjadi!             

Maksud dan tujuan didirikannya BUMN (Badan Usaha Milik Negara) berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN antara lain adalah guna berkontribusi bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya serta untuk mengejar keuntungan. Pencapaian maksud dan tujuan tersebut tentu saja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/ atau norma kesusilaan yang berlaku.
Ini berarti, keberadaan BUMN sangat penting bagi sumber penerimaan negara, terlebih dalam kondisi keuangan negara yang sedang “tidak sehat” saat ini. Kehadiran BUMN diharapkan menjadi salah satu faktor yang dapat menyehatkan kembali kondisi keuangan kita. Namun ironisnya, harapan tersebut tak kunjung terwujud. Eksistensi BUMN selama ini bukannya “menyehatkan”, malahan menambah “sakit dan kronis” kondisi keuangan negeri ini. Sudah sejak lama berbagai aksi korupsi tiada henti menggerogoti tubuh BUMN.
BUMN yang memegang fungsi strategis mengimplementasikan kebijakan pemerintah di berbagai sektor (konstruksi, keuangan, energi, pangan, dll) telah beralih wujud menjadi “ladang” korupsi. Terkuaknya kasus korupsi di PT PAL oleh KPK berikut penetapan beberapa oknum direksi dan pejabatnya sebagai tersangka penerima suap terkait penjualan kapal ke Filipina, jadi fakta teranyar.
Sebelumnya, sejumlah BUMN selain PT PAL juga sudah merugikan negara melalui aksi korupsi para oknum pejabatnya. Ada kasus korupsi yang melanda PT Sang Hyang Seri terkait subsidi benih padi, kedelai, serta jagung hibrida dan komposit. Begitu juga PT Adhi Karya dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Hingga kasus korupsi pengadaan quay container crane di tubuh PT Pelindo II. Dan masih ada sederet daftar BUMN lain yang melakukan hal serupa.        
  
Upaya Restrukturisasi
Sejumlah kasus korupsi yang membelit BUMN di atas, semakin menguatkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menemukan indikasi korupsi sekitar Rp 10,484 triliun di sejumlah BUMN selama periode 2004-2006 dengan modus penyimpangan dominan penggelembungan (mark up) anggaran proyek, dengan kasus dugaan korupsi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jelas, hal ini membuat kondisi keuangan negara semakin terpuruk.
Maraknya aksi korupsi di BUMN selama ini timbul akibat tata kelola yang buruk, integritas pejabat yang rendah, serta implikasi dari ringannya hukuman terhadap para koruptor di negeri ini. Sehingga upaya restrukturisasi harus segera dilakukan guna menyehatkan kembali kondisi internal BUMN, agar benar-benar dapat berkontribusi positif bagi perekonomian bangsa, bukan malah semakin membuat negeri ini sengsara berkepanjangan.
Tata kelola internal BUMN yang buruk selama ini tentunya menjadi tanggung jawab utama dari pihak direksi di bawah pengawasan anggota komisaris dan dewan pengawas yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada para direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan baik pada organ Persero (Perusahaan Perseroan Terbuka) maupun Perum (Perusahaan Umum).
Guna mengoptimalkan tata kelola dan meningkatkan integritas anggota dan pejabat BUMN, maka anggota direksi harus diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik, serta berdedikasi tinggi untuk memajukan dan mengembangkan Persero maupun Perum. Adapun terkait dengan pengawasan internal, maka anggota komisaris dan dewan pengawas haruslah merupakan orang-orang yang berintegritas tinggi, berdedikasi, dan memiliki pengetahuan yang baik dalam memahami masalah-masalah manajemen perusahaan.
Untuk itu, proses perekrutan dan pengangkatan anggota direksi, komisaris, dan dewan pengawas harus dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka. Model seleksi pejabat BUMN yang selama ini relatif tertutup harus ditinggalkan. Proses seleksi secara profesional harus dikedepankan dengan melibatkan konsultan atau tim ahli yang berkualitas dan terbebas dari intervensi pihak manapun yang menjalankan proses seleksi sesuai sistem dan tahapan manajemen, metode, teknik, alat ukur, dan instrumen yang jelas, efektif, dan efisien. Dan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi seluruh proses seleksi tersebut.
Proses seleksi politik juga dapat dipertimbangkan untuk tetap dilakukan. Hanya saja dalam porsi minimalis untuk menghindari subyektivitas dan pelibatan unsur kepentingan politik di dalamnya. Dan untuk mengoptimalkan proses seleksi politik ini perlu dibuat acuan dasar seleksi yang dapat memandu lembaga politik untuk melakukan seleksi, antara lain; tata tertib, tim, mekanisme, metode, alat ukur, dan tahapan seleksi. Semua ini tentunya harus tertuang secara gamblang dalam kebijakan BUMN. 
Penguatan fungsi pemeriksaan dan pengawasan eksternal dari BPK dan KPK juga harus semakin dimaksimalkan guna menghindari aksi culas dan penyelewengan wewenang dari para anggota dan pejabat BUMN. Dan terakhir, vonis berat, pidana tambahan, dan sanksi sosial harus dikenakan kepada para koruptor dengan tegas dan tanpa tebang pilih, agar dapat meredam serta menjadi efek jera dan momok menakutkan bagi para pelaku dan orang-orang yang berniat melakukan aksi korupsi.   
         Kritik dan saran: elfiansyahafiz77@gmail.com

  

Jumat, 23 Oktober 2015


Pengelola STIA Prima Sengkang
Abaikan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas

Hafiz Elfiansya Parawu, ST.,M.Si.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas merupakan 2 (dua) prinsip yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap organisasi, baik itu organisasi kecil maupun besar, baik itu organisasi profit maupun nonprofit, dan baik itu organisasi swasta maupun pemerintah. Transparansi merupakan prinsip yang menjamin kebebasan, keterbukaan, keterlibatan, dan kemudahan akses bagi setiap orang untuk memeroleh informasi akan pengelolaan suatu sumber daya. Transparansi merupakan salah satu wujud pertanggungjawaban, merupakan upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan organisasi yang baik, dan dapat mengurangi potensi terjadinya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Adapun akuntabilitas merupakan prinsip yang menjamin setiap kegiatan penyelenggaraan organisasi dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pihak pengelola kegiatan kepada pihak lain yang berkepentingan. Diartikan pula sebagai kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, dan mengungkapkan segala aktivitas yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah yang memiliki hak dan kewenangan untuk menerima pertanggungjawaban tersebut. Kesimpulan utama dari kedua prinsip tersebut adalah “transparansi akan menciptakan akuntabilitas”.
Jika kita semua paham tentang tujuan, fungsi, dan pentingnya menjunjung tinggi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam suatu organisasi, yang kini wajib dipertanyakan adalah, “Bagaimanakah penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dari pihak pengelola STIA Prima Sengkang? Apakah sudah menjunjung tinggi dan mengedepankan prinsip transparansi? Apakah sudah menjunjung tinggi dan mengedepankan prinsip akuntabilitas?” Tentu jawabannya, TIDAK SAMA SEKALI dan SAMA SEKALI TIDAK.
Terkait dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, faktanya pihak pengelola STIA Prima Sengkang telah mengabaikan alias tidak menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana keuangannya selama ini. Pihak pengelola STIA Prima Sengkang tidak pernah memaparkan secara terbuka dan mempertanggungjawabkan secara jelas dan jujur “Berapakah jumlah dana yang dikelola pada tiap semesternya? Dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk kegiatan apa saja? Dana tersebut digunakan untuk membayar/ membiayai apa saja? Dan, berapa saldonya? Namun, semua pertanyaan ini jujur saja sulit terjawab, karena prinsip transparansi dan akuntabilitas memang tidak diterapkan oleh pihak pengelola STIA Prima Sengkang. Pengelolaan dana yang besar jumlahnya, mulai dari pelaksanaan kegiatan ujian final, ujian proposal, ujian skripsi, KKLP, hingga dana BEM sungguh telah dikelola secara tidak transparan dan tidak akuntabel.
Seharusnya, dalam setiap berakhirnya satu kegiatan akademik, maka pihak pengelola STIA Prima Sengkang wajib hukumnya untuk mempertanggungjawabkan secara terbuka, jelas, dan jujur perihal dana yang dikelolanya kepada seluruh dosen STIA Prima Sengkang dan utamanya kepada pihak Yayasan Puangrimaggalatung Sengkang. Tentu saja ini hal yang mudah dan sederhana untuk dibuat dan dilaporkan dalam bentuk Laporan Pertanggungjawaban (LPJ), tetapi anehnya, hal ini tidak pernah dilakukan, entah apa alasannya, entah apa modusnya!. “Hanya Tuhan dan pihak pengelola STIA Prima Sengkang sendirilah yang tahu!”.
Mengapa pihak pengelola STIA Prima Sengkang selama ini tidak menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan? Padahal kita semua paham dan yakin, bahwa dengan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan maka akan mempersempit timbulnya potensi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan sekaligus pula dapat menghindarkan diri kita dari dugaan, tuduhan, fitnah, dan pikiran negatif pihak lain.
Sekarang, jika timbul koreksi, kritikan, masukan, hingga dugaan, tuduhan, fitnah, dan pikiran negatif dari sejumlah dosen STIA Prima Sengkang terkait pengelolaan dana di STIA Prima Sengkang, tentu saja ini wajar adanya. Hal ini terjadi karena tindakan pihak pengelola STIA Prima Sengkang sendiri yang selama ini tidak menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan, dan dampak ini merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh pihak pengelola STIA Prima Sengkang karena tidak mengelola dana keuangannya secara transparan dan akuntabel.
Bijaknya, kritikan dan tuntutan dari sejumlah dosen STIA Prima Sengkang agar pengelolaan dana keuangan di STIA Prima Sengkang harus dilakukan secara transparan dan akuntabel tersebut disambut dengan baik oleh pihak pengelola STIA Prima Sengkang, karena sesungguhnya hal ini dilakukan untuk kebaikan dan kemajuan STIA Prima Sengkang sendiri. Namun yang mengherankannya, justru pihak pengelola STIA Prima Sengkang bersikap arogan dan panik bak “orang yang kebakaran jenggot” mendengar kritikan dan tuntutan dari sejumlah dosen STIA Prima Sengkang tersebut, bahkan dengan penuh emosi mengeluarkan ancaman pemecatan kepada 4 (empat) Dosen Tetap Yayasan (DTY) STIA Prima Sengkang, padahal mereka tidak punya hak dan wewenang sedikitpun untuk melakukan hal tersebut. Dan terbukti, bahwa Ketua Yayasan Puangrimaggalatung Sengkang sebagai pemegang otoritas tertinggi hingga saat ini tidak pernah melakukan pemecatan kepada siapapun. Rupanya, pihak pengelola STIA Prima Sengkang sangat panik atas kritikan dan tuntutan dari sejumlah dosen STIA Prima Sengkang tersebut.
Yang menjadi tanda tanya besar hingga hari ini adalah, “Mengapa pihak pengelola STIA Prima Sengkang bersikap arogan, marah, dan panik atas kritikan dan tuntutan dari sejumlah dosen STIA Prima Sengkang agar pengelolaan dana keuangan di STIA Prima Sengkang harus dilakukan secara transparan dan akuntabel? Ini kan hanya sekadar kritikan! Ini kan hanya sekadar tuntutan! Bupati saja dikritik, gubernur saja dikritik, anggota dewan saja dikritik, presiden sekalipun dikritik, apatah lagi pemimpin dan pengelola organisasi! Itulah konsekuensinya! Itulah dinamika organisasi! Lalu, “Apakah sebenarnya yang disembunyikan? Apakah ada dana yang telah dinikmati selama ini?” Jawabannya mungkin hanya satu, “Hanya Tuhan dan pihak pengelola STIA Prima Sengkang sendirilah yang tahu!” Tentu saja ini merupakan preseden buruk yang aneh, unik, dan lucu…hingga membuat hati ini selalu tertawa kecil rasanya bila mengingat kejadian tersebut.
Sesungguhnya sangatlah mudah dan sederhana mengatasi konflik organisasi ini! Pihak pengelola STIA Prima Sengkang tinggal mematahkan kritikan, dugaan, tuduhan, fitnah, dan pikiran negatif sekaligus pula membuktikan tuntutan dari sejumlah dosen STIA Prima Sengkang dengan memaparkan secara terbuka seluruh laporan pengelolaan dana yang diperoleh selama ini dan sekaligus pula mempertanggungjawabkan segala laporan pengelolaan dana tersebut kepada seluruh dosen STIA Prima Sengkang dan utamanya kepada pihak Yayasan Puangrimaggalatung Sengkang. Pihak pengelola STIA Prima Sengkang harus berani dan jujur mengungkapkan dan mempertanggungjawabkan seluruh dana yang dikelolanya selama ini. Harus berani dan jujur mengungkapkan dan mempertanggungjawabkan “Seberapa besar dana yang masuk selama ini? Apa saja peruntukan dari dana tersebut? Jika ada sisanya, berapa jumlahnya? Kalaupun habis, kemana habisnya?”.
Semoga kritikan, dugaan, tuduhan, fitnah, dan pikiran negatif kami selama ini keliru dan semoga pula pihak pengelola STIA Prima Sengkang dapat secara transparan dan akuntabel memaparkan seluruh laporan pengelolaan dana yang besar jumlahnya tersebut sebagaimana yang telah diamanahkan selama ini dengan segera. BUKTIKAN! KAMI TUNGGU PEMBUKTIAN ITU!!!
Sebagai penutup, kami mewakili teman-teman DTY STIA Prima Sengkang mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ketua Yayasan Puangrimaggalatung Sengkang, dr. H.M. Sanusi Karateng, yang dengan bijak telah menerima, mendengarkan, dan memahami aspirasi kami, sekaligus memahami akar permasalahan ini, dan berjanji akan mengambil langkah/ tindakan tegas demi kemajuan kampus Prima Sengkang di masa depan. Kami seluruh DTY STIA Prima Sengkang siap mengabdikan diri secara profesional demi maju dan berkembangnya kampus Prima Sengkang. Semoga aksi yang kami lakukan ini dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.