Politik
Uang di Masa Tenang
Hafiz Elfiansya
Parawu
Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen FISIP Unismuh Makassar
Masa tenang identik dengan politik uang
Lewat politik uang terpilihlah pemimpin daerah yang
integritasnya kurang Akhirnya, korupsi semakin meradang dan sulit dihadang
Lalu, bagaimana masa depan daerah dapat lebih
gemilang?
Peraturan KPU (Komisi Pemilihan Umum)
Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, memuat klausul
yang menjelaskan mengenai masa tenang. Dimana pada Pasal 49 Ayat (2) peraturan
tersebut menjelaskan bahwa masa tenang kampanye berlangsung selama 3 (tiga)
hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara. Kemudin, pada Ayat (3) disebutkan
pula, pada masa tenang tersebut, pasangan calon dilarang melakukan kampanye
dalam bentuk apapun juga.
Mencermati isi kebijakan ini, setidaknya
ada 3 (tiga) hal penting yang terkandung di dalamnya, yaitu bermaksud untuk menciptakan
suasana tenang (iklim kondusif) menjelang pemungutan suara, memberikan
kesempatan bagi para pemilih untuk memertimbangkan para calon berdasarkan
pengetahuan masing-masing terhadap mereka selama masa kampanye, dan guna
membersihkan semua alat peraga kampanye yang tersebar di ruang publik.
Maka, ditetapkanlah tanggal 12-14
Februari 2017 sebagai masa tenang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada)
serentak di 101 daerah (7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota) di Indonesia.
Saatnya
Meningkatkan Kewaspadaan
Hasil kajian Bawaslu (Badan Pengawas
Pemilu) dan lembaga Founding Fathers House yang dipaparkan di Gedug Bawaslu,
Jakarta, pekan lalu melalui survei di 34 provinsi dengan melibatkan 1.200
responden, sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, hasil kajian tersebut
mengungkapkan bahwa di tahun 2016 (saat pelaksanaan survei) sebanyak 61,8
persen responden mengatakan bersedia menerima pemberian uang peserta pilkada.
Dari hasil kajian Bawaslu dan lembaga
Founding Fathers House ini dapat ditarik 3 (tiga) simpulan. Pertama, kecurangan
pilkada dalam bentuk politik uang (money
politic) masih saja marak terjadi alias masih saja menjadi “jurus ampuh”
yang dijalankan oleh sebagian besar peserta pilkada untuk menarik hati para
pemilihnya.
Kedua, kesadaran dari para pemilih untuk
berani menolak segala bentuk politik uang dari tahun ke tahun tidak kunjung
mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik secara signifikan. Dimana pada
tahun 2010 menunjukkan angka 64,5 persen, 2014 sebanyak 66 persen, dan di 2015
ada sekitar 63 persen masyarakat kita yang mau menerima dana maupun barang
pemberian dari para kontestan pilkada.
Dan yang terakhir, bukan hanya tingkat
kesadaran masyarakat kita yang masih rendah, namun tingkat kewaspadaannya juga
masih lemah. Lemahnya tingkat kewaspadaan masyarakat inilah yang digunakan oleh
sebagian besar para paslon (pasangan calon) pemimpin daerah untuk melancarkan
serangan money politic-nya.
Konklusi besarnya adalah, masyarakat
kita “masih jauh panggang dari api”. Sebagian besar masyarakat kita masih
bersifat permisif terhadap segala jenis politik uang. Masyarakat kita masih
bersikap kompromistis terhadap praktik-praktik tercela tersebut. Masyarakat
kita belum menjadi pemilih-pemilih yang cerdas.
Tentu ini masalah besar dan serius yang
harus secepatnya diatasi dan harus mendapat perhatian lebih dari semua pihak,
mengingat hari pemilihan sudah di depan mata. Politik uang yang lazim
dilancarkan di masa tenang, tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai suatu
kejahatan, namun sudah menjadi bentuk perampasan harga diri masyarakat. Pilkada
yang diwarnai politik uang pastinya akan berkorelasi dengan kualitas pemimpin
yang terpilih. Ia tidak lagi dipilih karena integritas dan kapabilitasnya yang
mumpuni, tetapi karena lembaran rupiah yang dibagikannya.
Kini, kita tidak bisa lagi sekadar
mengandalkan kebijakan yang sudah ada. Benar kita punya Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dimana pada Pasal
73 Ayat (2) ada sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai paslon bila terbukti
melakukan politik uang apapun jenisnya dan pada Ayat (3) bagi tim kampanyenya
akan dikenai sanksi pidana. Dan, pada Pasal 187A Ayat (1) juga menegaskan bahwa
pihak yang melakukan politik uang akan dipidana penjara 36-72 bulan dan denda
Rp. 200 juta-1 miliar. Namun, semua itu belumlah cukup.
Menyandarkan permasalahan ini sepenuhnya
pada pihak Bawaslu juga tidaklah bijak, sekalipun mereka sudah memiliki beragam
sistem dan terobosan untuk mengatasi politik uang dan didukung oleh begitu
banyak pengawas pemilu bermodalkan data indeks kerawanan tempat pemungutan
suara (TPS) dan pengawas TPS, tidaklah menjadi jaminan politik uang tidak terjadi.
Apatah lagi mengingat luasnya wilayah pemilihan.
Yang kini harus dibangun adalah
bagaimana agar masyarakat dapat memiliki kesadaran penuh untuk menolak segala
jenis praktik politik uang dan juga memiliki semangat, kepedulian, dan
keberanian untuk berpartisipasi aktif dalam melaporkan segala jenis politik
uang yang terjadi selama berlangsungnya proses pilkada. Akses atau saluran
masyarakat untuk melaporkan segala bentuk praktik politik uang tersebut kepada
pihak yang berkompeten tentunya harus dibuka dengan seluas, semudah, dan seaman
mungkin.
Penting juga kiranya dipertimbangkan
untuk membuat suatu kebijakan yang memberikan sanksi tegas kepada para penerima
politik uang. Dengan pertimbangan bahwa praktik politik uang disamakan dengan aksi
suap, dimana baik pemberi maupun penerima dapat dikenakan hukuman. Dengan
adanya kebijakan ini, masyarakat pemilih akan berpikir ribuan kali sebelum
menerima segala bentuk politik uang.
Kritik dan saran: elfiansyahafiz77@gmail.com