MENELADANI
SOSOK HOEGENG
Dosen STIA Puangrimaggalatung Sengkang &
Mahasiswa S3 Administrasi Publik UNM Tahun 2012
Inspirasi tulisan ini muncul setelah
membaca secara online berita terkait
acara KPK Fair di Istora Senayan, Jakarta pada hari Rabu (11/12/2013). Acara
diskusi pekan antikorupsi tersebut dihadiri beberapa tokoh penting, diantaranya
Ketua KPK Abraham Samad dan Wakapolri Komjen. Pol. Oegroseno, dengan mengangkat
tema dari sebuah buku: “Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan”.
Bagi penulis dan mungkin beberapa
pembaca, nama Hoegeng – lengkapnya Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso (alm) –
terdengar unpopular, padahal beliau
pernah menduduki jabatan strategis dan penting di negeri ini, di antaranya: Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Iuran Negara (1965), Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966), dan terakhir, pada tanggal 5 Mei 1968, beliau diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (1969 – kemudian berubah
menjadi Kapolri
– namun
mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971). Melihat “masa
jaya” di 40 tahun silam, wajar bila mungkin sosok Hoegeng tak setenar sosok
Irjen Djoko Susilo dan Menteri Harmoko atau Moerdiono. Namun, uniknya, nama
Hoegeng diabadikan dalam buku yang sarat dengan kisah keteladannya sebagai
polisi dan menteri.
Walau pernah menduduki beberapa jabatan
penting di era Soekarno dan Soeharto, sungguh tak wajar dan aneh rasanya bila
setelah pensiun, Hoegeng, beralih profesi menjadi pelukis demi menghidupi
keluarganya. Bahkan, Kapolri periode Tahun 1966-1971 itu pernah menerima uang
pensiun hanya Rp. 10.000,- per bulan. Uang pensiunan itu diterimanya selama
puluhan tahun, tepatnya hingga tahun 2001, kisah Didit – putra Hoegeng.
Gambaran kehidupan Hoegeng – yang mantan
Kapolri – dan keluarganya yang sulit, tentu saja jauh dari gambaran kehidupan
beberapa anggota kepolisian kita saat ini. Hoegeng tak punya rekening tabungan
dengan saldo berlimpah seperti para perwira Polri kita saat ini yang terbukti
banyak memiliki rekening "gendut". Apatah lagi memiliki beberapa
rumah dan mobil mewah, usaha SPBU dan transportasi, serta puluhan hektar tanah
yang total nilainya lebih dari Rp. 100 miliar seperti yang dimiliki Irjen Djoko
Susilo. Jangankan memberi kemewahan, mengambil kesempatan dari jabatannya dulu
sebagai kapolri pun tak pernah dilakukan Hoegeng untuk keluarganya. Hingga,
putranya sendiri dilarang masuk Akabri menggunakan “fasilitas” jabatannya
sebagai kapolri. Selama aktif di kepolisian pun, Hoegeng sangat anti menerima
pemberian orang, dan ketika pensiun, ia mengembalikan seluruh fasilitas yang digunakannya
saat menjabat sebagai Kapolri. Tak berlebihan adanya, bila Wakapolri Oegroseno
begitu mengagumi dan menjadikan sosok beliau sebagai teladan yang layak
dicontoh dan mengatakan mungkin baru sekitar 20-25 persen anggota kepolisian kita
yang mirip dengan kepribadian Pak Hoegeng.
Tak hanya sang Wakapolri – Oegroseno –
yang mengagumi sosok Hoegeng, Ketua KPK – Abraham Samad pun mengagumi sosok
mantan menteri dan kapolri di rezim orde lama dan baru itu. Dalam diskusi hari
itu, Samad mendapatkan “petuah” dari Hoegeng yang disampaikan oleh Sudharto –
mantan sekretaris sang Jenderal; “Kalo’ memberantas korupsi itu ibarat orang
mandi dari atasan, kepala ya ke bawah, kalau dari atas bersih di bawah juga
bersih". Pesan ini langsung diapresiasi positif oleh Samad; “Pemberantasan
korupsi dari atas ke bawah memiliki makna keteladanan. Artinya, bila pejabat
atau petinggi-petingginya bebas KKN, maka akan diikuti pula oleh bawahannya.
Jadi, baik di kepolisian, bangsa, KPK, dan lembaga lainnya – yang harus memberi
contoh adalah pimpinannya”. Samad menginginkan adanya reformasi di tubuh
kepolisian agar tercipta sistem untuk menghentikan “kongkalikong” di institusi
Bhayangkara tersebut.
Samad menambahkan; “Hoegeng selama duduk
di pemerintahan, pernah menjabat di tempat-tempat yang saat ini diistilahkan
“tempat basah” seperti imigrasi, menteri, dan kapolri. Ini kan tempat di mana
orang yang duduk di tempat tersebut bisa menjadi orang yang kaya raya…tetapi Hoegeng
bisa menjalankan amanahnya secara benar”.
Kisah pilu kehidupan Hoegeng – yang
mantan Menteri – dan keluarganya pun jauh dari kisah “kehidupan mewah” sebagian
besar menteri kita saat ini. Hoegeng tak pernah memiliki mobil dinas seharga
Rp. 600 juta – Rp. 1,3 miliar seperti mobil dinas para menteri SBY. Hoegeng dan
keluarganya tak pernah (dan tak ingin) memiliki sepatu, celana, baju, jas, tas,
beserta aksesorisnya yang made in
luar negeri, tak pernah menggelar perhelatan dengan pesta mewah di gedung megah
yang menghabiskan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah, dan pastinya,
Hoegeng tak pernah terlibat skandal kasus korupsi seperti yang lagi “nge-trend”
dilakoni oleh sebagian menteri kita saat ini. Bahkan, menurut kesaksian sepupu
Hoegeng – Moehirman, setiap kali Hoegeng mendapat mobil dinas maka di dalam
kendaraan itu beliau tempelkan tulisan "Mobil Dinas Tidak Boleh
Dipinjam".
Kisah kehidupan Hoegeng sungguh sangat
sederhana, bersahaja, penuh dengan nilai-nilai kejujuran dan keteladanan.
Kesederhanaan dan kejujuran telah menjauhkan beliau dari sifat keserakahan.
Ya…keserakahan yang telah “melahirkan dan membesarkan” KKN yang kini sudah
“menggurita” di segala bidang dan telah membuat kehidupan bangsa ini semakin
terpuruk. Keteladanan Hoegeng – sang mantan menteri dan kapolri – bukan hanya
bagi para menteri dan kapolri saja, tetapi juga menjadi contoh yang patut
ditiru oleh seluruh pemimpin di negeri ini, dan tentu saja – juga menjadi
contoh bagi kita semua. Semoga, sekelumit kisah singkat keteladan “sang
Jenderal” bisa menjadi inspirasi dan dapat melahirkan “Hoegeng-Hoegeng baru”
yang akan membawa Indonesia ke arah masa depan yang jauh lebih baik. (hfz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar