Jumat, 05 September 2014

MENELADANI SOSOK HOEGENG

MENELADANI SOSOK HOEGENG


Hafiz Elfiansya Parawu

Dosen STIA Puangrimaggalatung Sengkang &
Mahasiswa S3 Administrasi Publik UNM Tahun 2012

Inspirasi tulisan ini muncul setelah membaca secara online berita terkait acara KPK Fair di Istora Senayan, Jakarta pada hari Rabu (11/12/2013). Acara diskusi pekan antikorupsi tersebut dihadiri beberapa tokoh penting, diantaranya Ketua KPK Abraham Samad dan Wakapolri Komjen. Pol. Oegroseno, dengan mengangkat tema dari sebuah buku: “Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan”.
Bagi penulis dan mungkin beberapa pembaca, nama Hoegeng – lengkapnya Jenderal (Pol) Hoegeng Imam Santoso (alm) – terdengar unpopular, padahal beliau pernah menduduki jabatan strategis dan penting di negeri ini, di antaranya: Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Iuran Negara (1965), Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966), dan terakhir, pada tanggal 5 Mei 1968, beliau diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (1969kemudian berubah menjadi Kapolri namun mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971). Melihat “masa jaya” di 40 tahun silam, wajar bila mungkin sosok Hoegeng tak setenar sosok Irjen Djoko Susilo dan Menteri Harmoko atau Moerdiono. Namun, uniknya, nama Hoegeng diabadikan dalam buku yang sarat dengan kisah keteladannya sebagai polisi dan menteri.
Walau pernah menduduki beberapa jabatan penting di era Soekarno dan Soeharto, sungguh tak wajar dan aneh rasanya bila setelah pensiun, Hoegeng, beralih profesi menjadi pelukis demi menghidupi keluarganya. Bahkan, Kapolri periode Tahun 1966-1971 itu pernah menerima uang pensiun hanya Rp. 10.000,- per bulan. Uang pensiunan itu diterimanya selama puluhan tahun, tepatnya hingga tahun 2001, kisah Didit – putra Hoegeng.
Gambaran kehidupan Hoegeng – yang mantan Kapolri – dan keluarganya yang sulit, tentu saja jauh dari gambaran kehidupan beberapa anggota kepolisian kita saat ini. Hoegeng tak punya rekening tabungan dengan saldo berlimpah seperti para perwira Polri kita saat ini yang terbukti banyak memiliki rekening "gendut". Apatah lagi memiliki beberapa rumah dan mobil mewah, usaha SPBU dan transportasi, serta puluhan hektar tanah yang total nilainya lebih dari Rp. 100 miliar seperti yang dimiliki Irjen Djoko Susilo. Jangankan memberi kemewahan, mengambil kesempatan dari jabatannya dulu sebagai kapolri pun tak pernah dilakukan Hoegeng untuk keluarganya. Hingga, putranya sendiri dilarang masuk Akabri menggunakan “fasilitas” jabatannya sebagai kapolri. Selama aktif di kepolisian pun, Hoegeng sangat anti menerima pemberian orang, dan ketika pensiun, ia mengembalikan seluruh fasilitas yang digunakannya saat menjabat sebagai Kapolri. Tak berlebihan adanya, bila Wakapolri Oegroseno begitu mengagumi dan menjadikan sosok beliau sebagai teladan yang layak dicontoh dan mengatakan mungkin baru sekitar 20-25 persen anggota kepolisian kita yang mirip dengan kepribadian Pak Hoegeng.
Tak hanya sang Wakapolri – Oegroseno – yang mengagumi sosok Hoegeng, Ketua KPK – Abraham Samad pun mengagumi sosok mantan menteri dan kapolri di rezim orde lama dan baru itu. Dalam diskusi hari itu, Samad mendapatkan “petuah” dari Hoegeng yang disampaikan oleh Sudharto – mantan sekretaris sang Jenderal; “Kalo’ memberantas korupsi itu ibarat orang mandi dari atasan, kepala ya ke bawah, kalau dari atas bersih di bawah juga bersih". Pesan ini langsung diapresiasi positif oleh Samad; “Pemberantasan korupsi dari atas ke bawah memiliki makna keteladanan. Artinya, bila pejabat atau petinggi-petingginya bebas KKN, maka akan diikuti pula oleh bawahannya. Jadi, baik di kepolisian, bangsa, KPK, dan lembaga lainnya – yang harus memberi contoh adalah pimpinannya”. Samad menginginkan adanya reformasi di tubuh kepolisian agar tercipta sistem untuk menghentikan “kongkalikong” di institusi Bhayangkara tersebut.
Samad menambahkan; “Hoegeng selama duduk di pemerintahan, pernah menjabat di tempat-tempat yang saat ini diistilahkan “tempat basah” seperti imigrasi, menteri, dan kapolri. Ini kan tempat di mana orang yang duduk di tempat tersebut bisa menjadi orang yang kaya raya…tetapi Hoegeng bisa menjalankan amanahnya secara benar”.
Kisah pilu kehidupan Hoegeng – yang mantan Menteri – dan keluarganya pun jauh dari kisah “kehidupan mewah” sebagian besar menteri kita saat ini. Hoegeng tak pernah memiliki mobil dinas seharga Rp. 600 juta – Rp. 1,3 miliar seperti mobil dinas para menteri SBY. Hoegeng dan keluarganya tak pernah (dan tak ingin) memiliki sepatu, celana, baju, jas, tas, beserta aksesorisnya yang made in luar negeri, tak pernah menggelar perhelatan dengan pesta mewah di gedung megah yang menghabiskan biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah, dan pastinya, Hoegeng tak pernah terlibat skandal kasus korupsi seperti yang lagi “nge-trend” dilakoni oleh sebagian menteri kita saat ini. Bahkan, menurut kesaksian sepupu Hoegeng – Moehirman, setiap kali Hoegeng mendapat mobil dinas maka di dalam kendaraan itu beliau tempelkan tulisan "Mobil Dinas Tidak Boleh Dipinjam".
Kisah kehidupan Hoegeng sungguh sangat sederhana, bersahaja, penuh dengan nilai-nilai kejujuran dan keteladanan. Kesederhanaan dan kejujuran telah menjauhkan beliau dari sifat keserakahan. Ya…keserakahan yang telah “melahirkan dan membesarkan” KKN yang kini sudah “menggurita” di segala bidang dan telah membuat kehidupan bangsa ini semakin terpuruk. Keteladanan Hoegeng – sang mantan menteri dan kapolri – bukan hanya bagi para menteri dan kapolri saja, tetapi juga menjadi contoh yang patut ditiru oleh seluruh pemimpin di negeri ini, dan tentu saja – juga menjadi contoh bagi kita semua. Semoga, sekelumit kisah singkat keteladan “sang Jenderal” bisa menjadi inspirasi dan dapat melahirkan “Hoegeng-Hoegeng baru” yang akan membawa Indonesia ke arah masa depan yang jauh lebih baik. (hfz) 

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar