Jumat, 05 September 2014

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA


Hafiz Elfiansya Parawu, ST. M.Si.
Dosen STIA Puangrimaggalatung Sengkang &
Mahasiswa S3 Administrasi Publik UNM Tahun 2012

A.  Pendahuluan
Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat  persatuan  dan  kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelaksanaan  manajemen  aparatur  sipil negara selama ini dirasakan belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Demi mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan sistem merit (merit system) dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.
Sebagaimana diketahui, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999  tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah  tidak  sesuai lagi dengan  tuntutan nasional dan tantangan global saat ini, sehingga sudah tepat rasanya bila  pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) ini, maka sangat diharapkan bahwa implementasi dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah ini dapat berjalan dengan efektif, agar pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat lebih optimal.

B.  Implementasi Kebijakan Publik
Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat bahwa ada 3 (tiga) kata kunci yakni “formulasi, “implementasi”, dan “evaluasi”. Setelah sebuah kebijakan diformulasikan, langkah selanjutnya tentu saja mengimplementasikan kebijakan tersebut. Mengenai implementasi kebijakan, Nugroho (2003: 501) menyatakan, rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi.
Melihat bahwa implementasi merupakan tugas yang memakan sumber daya/ resources paling besar, maka tugas implementasi kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih. Terkadang dalam praktik proses kebijakan publik, terdapat pandangan bahwa implementasi akan bisa berjalan secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan. Nugroho (2003: 484) menyatakan implementation myopia yang sering terjadi di Indonesia salah satunya adalah “Selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah dibuat, implementasi akan “jalan dengan sendirinya”. Terkadang sumber daya sebagian besar dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya.
Dalam sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan pelaksanaan kebijakan tersebut hari demi hari sehingga menuju kinerja kebijakan. Implementasi tersebut dapat melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga sebuah kebijakan bisa menjadi rumit. Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya. Winarno (2004), menyebutkan beberapa teoritisi implementasi kebijakan yang menyebutkan berbagai macam variabel, di mana variabel-variabel tersebut dapat menjadi faktor pendukung (peluang) dan sekaligus pula menjadi penghambat (tantangan) dalam implementasi kebijakan. Pakar-pakar tersebut antara lain: George C. Edwards III, Donald Van Meter dan Carl Van Horn, Merilee S. Grindle, dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier.
Menurut Edwards III (1980: 9-11), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) variabel, yaitu (1) Komunikasi, (2) Sumber daya, (3) Disposisi, dan (4) Struktur birokrasi. Menurut Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2004) terdapat 5 (lima) variabel yang memengaruhi implementasi kebijakan yaitu:        (1) Standar dan sasaran kebijakan; (2) Sumberdaya; (3) Komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) Karakteristik agen pelaksana; dan    (5) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Menurut Merilee S. Grindle (Winarno, 2004), terdapat 2 (dua) variabel besar yang memengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Sedangkan, menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2003: 215), ada 3 (tiga) kelompok variabel yang memengaruhi implementasi: (1) Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem); (2) Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasikan proses implementasi (ability of statute to structure implementation); dan (3) Variabel di luar kebijakan/ variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

C.  Aparatur Sipil Negara (ASN)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai  pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada asas:  (1) Kepastian hukum; (2) Profesionalitas; (3) Proporsionalitas; (4) Keterpaduan; (5) Delegasi; (6) Netralitas; (7) Akuntabilitas; (8) Efektif dan efisien;                  (9) Keterbukaan; (10) Nondiskriminatif; (11) Persatuan dan kesatuan;                (12) Keadilan dan kesetaraan; dan (13) Kesejahteraan.
Pegawai ASN berfungsi, sebagai: (1) Pelaksana kebijakan publik;              (2) Pelayan publik; dan (3) Perekat dan pemersatu bangsa. Yang bertugas:               (1) Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina  Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;                (2) Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan             (3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan peran sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan  kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pegawai ASN memiliki hak dan kewajiban. Pegawai ASN berhak memperoleh: (1) Gaji, tunjangan, dan fasilitas; (2) Cuti; (3) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua; (4) Perlindungan; dan (5) Pengembangan kompetensi. Adapun kewajiban Pegawai ASN, adalah: (1) Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan  Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah; (2) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; (3) Melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; (4) Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; (5) Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,  kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; (6) Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; (7) Menyimpan rahasia jabatan dan hanya  dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (8) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

D.  Peluang dan Tantangan Implementasi Kebijakan Undang-Undang  Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Dari pernyataan beberapa ahli terkait implementasi kebijakan, dapat disimpulkan bahwa ada 4 (empat) faktor yang secara umum memengaruhi implementasi kebijakan, yaitu: (1) Komunikasi; (2) Sumber daya; (3) Disposisi (sikap pelaksana); dan (4) Struktur birokrasi/ organisasi.
Terkait dengan aspek komunikasi, implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan berhasil bila pembuat keputusan/ decision maker dapat memberikan informasi secara tepat, jelas, akurat, dan konsisten. Komunikasi yang tepat, jelas, akurat, dan konsisten akan menghindari terjadinya diskresi/ discretion pada para implementor karena mereka akan mencoba menerjemahkan kebijakan Undang-Undang ini menjadi tindakan yang spesifik. Diskresi ini tidak perlu dilakukan jika terdapat aturan yang jelas serta spesifik mengenai apa yang perlu dilakukan. Namun, aturan yang terlalu kaku juga dapat menghambat implementasi Undang-Undang ini karena akan menyulitkan adaptasi dari para implementor.
Terkait dengan aspek sumber daya, implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan menghindari terjadinya politisasi penempatan pejabat, baik di tingkat pusat maupun di daerah karena pemilihannya menekankan merit system yang menghargai kinerja yang telah dibuat oleh aparatur, sehingga menghasilkan pejabat yang publik yang benar-benar kompeten. Karena selama ini yang sering kali terjadi adalah pejabat yang dipilih oleh pimpinan, terutama oleh pejabat daerah, adalah anggota tim suksesnya. Hal tersebut tentu tidak baik karena mereka dipilih menjadi pejabat bukan karena kemampuannya namun karena kedekatannya. Melalui Undang-Undang ini, akan dibentuk panitia seleksi yang independen untuk memilih pejabat. Panitia Seleksi tersebut akan diawasi oleh Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) yang tugasnya mengawasi setiap tahapan proses pengisian jabatan pimpinan tinggi, mengawasi, mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar, kode etik perilaku pegawai ASN atau PNS. Dengan adanya sistem tersebut, maka diharapkan kinerja instansi tidak terganggu jika pimpinan atau kepala daerah berganti. Untuk di daerah, diharapakan tidak terjadi jika kepala daerahnya terganti maka kepala dinasnya juga turut diganti. Dengan dilakukannya hal ini, maka akan tercipta suatu birokrasi yang solid.
Masuknya PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) dalam jabatan pimpinan, di satu sisi merupakan peluang untuk memasukkan talenta unggul yang akan memberi warna baru bagi birokrasi.  Tetapi di sisi lain apabila tidak dijaga dengan baik, dapat menjadi pintu masuk bagi munculnya politisasi birokrasi.  Unsur-unsur yang berafiliasi dengan parpol dapat saja dititipkan oleh pimpinan politik yang kebetulan sudah menjadi pimpinan tertinggi di dalam pemerintah (misalnya menteri/ pejabat yang memperoleh penugasan politik).  Disinilah ujian bagi efektivitas peran Komisi Aparat Sipil Negara (KASN), sebagai pelindung asas meritokrasi.
Namun, yang menjadi tantangan adalah pemerintah harus melakukan perekrutan Anggota Komite Aparat Sipil Negara (KASN), yang harus menjamin terwujudnya sistem merit, membangun ASN yang profesional, dan mengawasi norma dasar dan kode etik ASN. Lembaga ini sangat powerfull, dan karenanya dapat menjadi pisau bermata dua. Jika diisi individu yang kompeten dan memiliki integritas tinggi, maka akan ada perbaikan postur Aparat Sipil Negara di masa depan. Namun, jika sebaliknya diisi oleh “orang-orang titipan” elit politik, maka besarnya kekuasaan justru akan menciptakan birokrasi baru yang justeru akan menjadi penghambat transformasi.
Terkait dengan aspek disposisi (sikap pelaksana), implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini sangat ditentukan oleh aspek ini, karena disposisi merupakan hal yang krusial. Jika implementor kebijakan memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan, maka perspektif ini juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan di lapangan. Disposisi implementor ini mencakup 3 (tiga) hal yang penting, yakni: (1) Respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan; (2) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (3) Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian kalangan memandang Undang-Undang ASN sebagai tread/ ancaman dengan dibukanya jalur karir         di luar PNS. Untuk itu diperlukan proses edukasi kepada kalangan PNS guna meyakinkan bahwa Undang-Undang ini akan berpihak kepada PNS yang memegang teguh integritas dan berkinerja baik.
Terkait dengan aspek struktur birokrasi/ organisasi, implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini berkaitan erat dengan dua sub variabel yang memberikan pengaruh besar pada birokrasi, yaitu Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. SOP merupakan respon yang timbul dari implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan pekerjaan karena kurangnya waktu dan sumber daya serta kemauan adanya keseragaman dalam operasi organisasi yang kompleks. SOP ini sering kita jumpai dalam pelayanan masyarakat pada organisasi-organisasi pelayanan publik. Standarisasi SOP sudah menjadi isu lama pada organisasi swasta/ private sector, dan kemudian diimplementasikan pula pada organisasi-organisasi pelayanan publik. Sedangkan, fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Yang menjadi tantangan saat ini adalah pemerintah harus mempersiapkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ASN ini berupa Peraturan Pemerintah (PP), yang akan diikuti peraturan pelaksanaan turunannya. Tantangan pertama yang harus dihadapi adalah meyakinkan agar peraturan pelaksanaannya betul-betul sejalan dengan spirit transformasi yang mendasari Undang-Undang ASN ini.

E.  Simpulan
Penting untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat  persatuan  dan  kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) diharapkan implementasinya dapat berjalan dengan efektif, agar pengelolaan ASN dapat lebih optimal. Implementasi kebijakan UU ASN ini terkait dengan: (1) Komunikasi;    (2) Sumber daya; (3) Disposisi; dan (4) Struktur birokrasi.

Daftar Pustaka
Edwards III, G.C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly Press
Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta: Elex Media Komputindo
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Winarno, B. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar