IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
UNDANG-UNDANG APARATUR
SIPIL NEGARA
Dosen STIA Puangrimaggalatung Sengkang &
Mahasiswa S3 Administrasi Publik UNM Tahun 2012
A. Pendahuluan
Dalam rangka pelaksanaan cita-cita
bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka perlu dibangun
aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas
dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,
serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu
menjalankan peran sebagai unsur perekat
persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pelaksanaan manajemen
aparatur sipil negara selama ini dirasakan
belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan
oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam
rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan
tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance).
Demi mewujudkan aparatur sipil negara sebagai
bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai
profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan
kinerjanya dan menerapkan sistem merit (merit
system) dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara.
Sebagaimana diketahui, bahwa Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan nasional dan tantangan global saat
ini, sehingga sudah tepat rasanya bila pemerintah
menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN).
Setelah ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) ini, maka sangat
diharapkan bahwa implementasi dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah ini dapat berjalan dengan efektif, agar pengelolaan Aparatur Sipil
Negara (ASN) dapat lebih optimal.
B. Implementasi Kebijakan Publik
Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat
bahwa ada 3 (tiga) kata kunci yakni “formulasi, “implementasi”, dan “evaluasi”.
Setelah sebuah kebijakan diformulasikan, langkah selanjutnya tentu saja
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Mengenai implementasi kebijakan,
Nugroho (2003: 501) menyatakan, rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi
adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan
implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di
sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di
lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi.
Melihat bahwa implementasi merupakan tugas yang
memakan sumber daya/ resources paling besar, maka tugas implementasi
kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih. Terkadang dalam praktik
proses kebijakan publik, terdapat pandangan bahwa implementasi akan bisa
berjalan secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan.
Nugroho (2003: 484) menyatakan implementation myopia yang sering terjadi
di Indonesia salah satunya adalah “Selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah
dibuat, implementasi akan “jalan dengan sendirinya”. Terkadang sumber daya
sebagian besar dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap
implementasi kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan
sebaliknya.
Dalam sistem politik, kebijakan publik
diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut
melaksanakan pekerjaan pelaksanaan kebijakan tersebut hari demi hari sehingga
menuju kinerja kebijakan. Implementasi tersebut dapat melibatkan banyak aktor
kebijakan sehingga sebuah kebijakan bisa menjadi rumit. Kerumitan dalam tahap
implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan
yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya. Winarno
(2004), menyebutkan beberapa teoritisi implementasi kebijakan yang menyebutkan
berbagai macam variabel, di mana variabel-variabel tersebut dapat menjadi
faktor pendukung (peluang) dan sekaligus pula menjadi penghambat (tantangan)
dalam implementasi kebijakan. Pakar-pakar tersebut antara lain: George C.
Edwards III, Donald Van Meter dan Carl Van Horn, Merilee S. Grindle, dan Daniel
A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier.
Menurut Edwards III (1980: 9-11), implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) variabel, yaitu (1) Komunikasi, (2) Sumber
daya, (3) Disposisi, dan (4) Struktur birokrasi. Menurut Van Meter dan Van Horn
(Winarno, 2004) terdapat 5 (lima) variabel yang memengaruhi implementasi
kebijakan yaitu: (1) Standar dan
sasaran kebijakan; (2) Sumberdaya; (3) Komunikasi antarorganisasi dan penguatan
aktivitas; (4) Karakteristik agen pelaksana; dan (5) Kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Merilee S. Grindle (Winarno, 2004), terdapat 2 (dua) variabel besar
yang memengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content
of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).
Sedangkan, menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2003: 215), ada 3 (tiga)
kelompok variabel yang memengaruhi implementasi: (1) Mudah tidaknya masalah
dikendalikan (tractability of the problem); (2) Kemampuan kebijakan untuk
menstrukturisasikan proses implementasi (ability of statute to structure
implementation); dan (3) Variabel di luar kebijakan/ variabel
lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
C. Aparatur Sipil Negara (ASN)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014, Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang
selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang
diangkat oleh pejabat Pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen
ASN berdasarkan pada asas: (1) Kepastian
hukum; (2) Profesionalitas; (3) Proporsionalitas; (4) Keterpaduan; (5) Delegasi;
(6) Netralitas; (7) Akuntabilitas; (8) Efektif dan efisien; (9) Keterbukaan; (10) Nondiskriminatif;
(11) Persatuan dan kesatuan;
(12) Keadilan dan kesetaraan; dan (13) Kesejahteraan.
Pegawai ASN berfungsi, sebagai: (1)
Pelaksana kebijakan publik;
(2) Pelayan publik; dan (3) Perekat dan pemersatu bangsa. Yang
bertugas: (1) Melaksanakan
kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; (2)
Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan (3) Mempererat persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan peran sebagai perencana, pelaksana, dan
pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional
melalui pelaksanaan kebijakan dan
pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih
dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pegawai ASN memiliki hak dan kewajiban.
Pegawai ASN berhak memperoleh: (1) Gaji, tunjangan, dan fasilitas; (2) Cuti;
(3) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua; (4) Perlindungan; dan (5) Pengembangan
kompetensi. Adapun kewajiban Pegawai ASN, adalah: (1) Setia dan taat pada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah;
(2) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; (3) Melaksanakan kebijakan yang
dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; (4) Menaati ketentuan peraturan
perundang-undangan; (5) Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; (6)
Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan
tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; (7) Menyimpan
rahasia jabatan dan hanya dapat
mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan (8) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
D. Peluang dan Tantangan Implementasi Kebijakan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara
Dari pernyataan beberapa ahli terkait
implementasi kebijakan, dapat disimpulkan bahwa ada 4 (empat) faktor yang
secara umum memengaruhi implementasi kebijakan, yaitu: (1) Komunikasi; (2)
Sumber daya; (3) Disposisi (sikap pelaksana); dan (4) Struktur birokrasi/ organisasi.
Terkait dengan aspek komunikasi,
implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan berhasil bila pembuat
keputusan/ decision maker dapat memberikan informasi secara tepat,
jelas, akurat, dan konsisten. Komunikasi yang tepat, jelas, akurat, dan
konsisten akan menghindari terjadinya diskresi/ discretion pada para
implementor karena mereka akan mencoba menerjemahkan kebijakan Undang-Undang
ini menjadi tindakan yang spesifik. Diskresi ini tidak perlu dilakukan jika
terdapat aturan yang jelas serta spesifik mengenai apa yang perlu dilakukan.
Namun, aturan yang terlalu kaku juga dapat menghambat implementasi Undang-Undang
ini karena akan menyulitkan adaptasi dari para implementor.
Terkait dengan aspek sumber daya,
implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini akan menghindari terjadinya
politisasi penempatan pejabat, baik di tingkat pusat maupun di daerah karena
pemilihannya menekankan merit system
yang menghargai kinerja yang telah dibuat oleh aparatur, sehingga menghasilkan
pejabat yang publik yang benar-benar kompeten. Karena selama ini yang sering
kali terjadi adalah pejabat yang dipilih oleh pimpinan, terutama oleh pejabat
daerah, adalah anggota tim suksesnya. Hal tersebut tentu tidak baik karena
mereka dipilih menjadi pejabat bukan karena kemampuannya namun karena
kedekatannya. Melalui Undang-Undang ini, akan dibentuk panitia seleksi yang
independen untuk memilih pejabat. Panitia Seleksi tersebut akan diawasi oleh
Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) yang tugasnya mengawasi setiap tahapan
proses pengisian jabatan pimpinan tinggi, mengawasi, mengevaluasi penerapan
asas, nilai dasar, kode etik perilaku pegawai ASN atau PNS. Dengan adanya
sistem tersebut, maka diharapkan kinerja instansi tidak terganggu jika pimpinan
atau kepala daerah berganti. Untuk di daerah, diharapakan tidak terjadi jika
kepala daerahnya terganti maka kepala dinasnya juga turut diganti. Dengan
dilakukannya hal ini, maka akan tercipta suatu birokrasi yang solid.
Masuknya PPPK (Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja) dalam jabatan pimpinan, di satu sisi merupakan peluang untuk
memasukkan talenta unggul yang akan memberi warna baru bagi birokrasi.
Tetapi di sisi lain apabila tidak dijaga dengan baik, dapat menjadi pintu masuk
bagi munculnya politisasi birokrasi. Unsur-unsur yang berafiliasi dengan
parpol dapat saja dititipkan oleh pimpinan politik yang kebetulan sudah menjadi
pimpinan tertinggi di dalam pemerintah (misalnya menteri/ pejabat yang
memperoleh penugasan politik). Disinilah ujian bagi efektivitas peran
Komisi Aparat Sipil Negara (KASN), sebagai pelindung asas meritokrasi.
Namun, yang menjadi tantangan adalah
pemerintah harus melakukan perekrutan Anggota Komite Aparat Sipil Negara
(KASN), yang harus menjamin terwujudnya sistem merit, membangun ASN yang
profesional, dan mengawasi norma dasar dan kode etik ASN. Lembaga ini sangat powerfull, dan karenanya dapat menjadi
pisau bermata dua. Jika diisi individu yang kompeten dan memiliki integritas
tinggi, maka akan ada perbaikan postur Aparat Sipil Negara di masa depan.
Namun, jika sebaliknya diisi oleh “orang-orang titipan” elit politik, maka
besarnya kekuasaan justru akan menciptakan birokrasi baru yang justeru akan menjadi
penghambat transformasi.
Terkait dengan aspek disposisi (sikap
pelaksana), implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini sangat ditentukan oleh
aspek ini, karena disposisi merupakan hal yang krusial. Jika implementor
kebijakan memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan, maka
perspektif ini juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan
yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan di lapangan. Disposisi
implementor ini mencakup 3 (tiga) hal yang penting, yakni: (1) Respons
implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk
melaksanakan kebijakan; (2) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan
(3) Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementor.
Tak
dapat dipungkiri, bahwa sebagian kalangan memandang Undang-Undang ASN sebagai tread/ ancaman dengan dibukanya jalur
karir di luar PNS. Untuk itu
diperlukan proses edukasi kepada kalangan PNS guna meyakinkan bahwa
Undang-Undang ini akan berpihak kepada PNS yang memegang teguh integritas dan
berkinerja baik.
Terkait dengan aspek struktur birokrasi/
organisasi, implementasi kebijakan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini berkaitan erat dengan dua
sub variabel yang memberikan pengaruh besar pada birokrasi, yaitu Standard
Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. SOP merupakan respon yang
timbul dari implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan pekerjaan karena
kurangnya waktu dan sumber daya serta kemauan adanya keseragaman dalam operasi
organisasi yang kompleks. SOP ini sering kita jumpai dalam pelayanan masyarakat
pada organisasi-organisasi pelayanan publik. Standarisasi SOP sudah menjadi isu
lama pada organisasi swasta/ private sector, dan kemudian
diimplementasikan pula pada organisasi-organisasi pelayanan publik. Sedangkan,
fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada
beberapa unit organisasi. Yang menjadi tantangan saat ini adalah pemerintah
harus mempersiapkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ASN ini berupa
Peraturan Pemerintah (PP), yang akan diikuti peraturan pelaksanaan turunannya.
Tantangan pertama yang harus dihadapi adalah meyakinkan agar peraturan
pelaksanaannya betul-betul sejalan dengan spirit transformasi yang mendasari
Undang-Undang ASN ini.
E. Simpulan
Penting untuk
membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral,
dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan
mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat
persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN) diharapkan implementasinya dapat berjalan dengan efektif, agar
pengelolaan ASN dapat lebih optimal. Implementasi kebijakan UU ASN ini terkait
dengan: (1) Komunikasi; (2) Sumber
daya; (3) Disposisi; dan (4) Struktur birokrasi.
Daftar Pustaka
Edwards
III, G.C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Congressional Quarterly
Press
Nugroho,
Riant, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,
Jakarta: Elex Media Komputindo
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Winarno,
B. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar